Friday, October 16, 2009

Motivasi buat orang yang mau berusaha keras

ORANG PINTAR JANGAN PULANG!-

Belajar dari Spirit Yohanes Surya dalam Membangun Generasi Muda Indonesia -
(diambil dan disalin dari Harian Media Indonesia, Sabtu, 6 Agustus 2005)

OLIMPIADE FISIKA seperti menjadi nama tengah fisikawan Prof Yohanes Surya. Sejak tiga belas tahun silam, pria ini berada di balik perjuangan siswa-siswa Indonesia berotak cemerlang di kancah internasional. Ada sebuah misi yang tengah diembannya. Kepada Sica Harum dari Media, ia menceritakan impiannya. Kebangkitan Indonesia melalui ilmu pengetahuan alam.PRIA BERTUBUH KURUS ITU terkesan ramah. Dengan kesibukan yang menggunung, ia tidak terlihat lelah. Begitu juga saat ditemui Media di kantornya yang terletak di bilangan Cyberperk Office Lippo Karawaci, Tangerang. Guru Besar Tetap Fisika Universitas Pelita Harapan itu begitu luwes berbincang.IA ADALAH ORANG DI BALIK keberangkatan puluhan orang Indonesia belajar ke berbagai universitas top di luar negeri. Kebanyakan berada di Amerika Serikat, negara yang pernah ia tinggali enam tahun lamanya. Di sana, mereka mampu bersaing dengan mahasiswa lainnya dan menjadi kesayangan profesor pembimbingnya. "Saya bilang sama mereka, tetap tinggal di sana. Dalami ilmu, raih doktor, perkuat posisi agar bisa mengundang siswa Indonesia untuk belajar di sana. Kalau mereka langsung pulang, terlalu sayang. Indonesia belum siap, mereka bisa tersia-sia," ujar Ketua Tim Olimpiade Fisika Indonesia itu.IA LANTAS MENCONTOHKAN negara China yang rajin mengirim siswa-siswanya belajar ke luar negeri periode 1980-1990. Tak tanggung-tanggung, 1.000 pelajar dikirim setiap tahunnya. "Kini, lihat mereka. Saat China siap membangun, orang-orang pintar itu diundang pulang dan membangun negerinya," sebut pria berkacamata itu. Belajar dari pengalaman China, ia optimistis. Siswa Indonesia yang dikirim belajar ke luar negeri akan kembali suatu hari nanti ketika Indonesia sudah siap membangun dan membutuhkan kehadiran mereka. "Sekadar contoh, saat saya menyebar iklan lowongan peneliti untuk nanoteknologi yang tengah saya dalami ini, banyak orang Indonesia yang melamar. Ternyata kita punya banyak orang pintar di luar negeri yang berkeinginan kembali ke Indonesia," sebutnya.MENURUT YOHANES, ORANG INDONESIA punya karakter khas, cenderung tidak betah di luar negeri yang kental dengan sifat individualistisnya. "Ada yang ingin tetap tinggal dan bekerja di sana. Tapi enggak banyak. Umumnya mereka ingin kembali karena budaya kita yang terbiasa memiliki keluarga besar dan teman banyak, enggak ditemui di sana. Kehidupan di sana cenderung monoton untuk peneliti. Lagi pula, bagaimanapun mereka tidak akan menjadi warga kelas satu, meskipun secara materi mereka dihargai. Mau jadi dekan saja enggak bisa apalagi jadi rektor universitas. Saya sendiri bilang sama anak-anak TOFI, mereka boleh sekolah dan bekerja di mana saja, asal jangan ganti warga negara. Nanti saat di sini siap, kita tinggal panggil mereka pulang," paparnya terus terang.HARAPANNYA BISA JADI bukan pepesan kosong belaka. Indonesia, menurutnya, punya potensi yang tidak kalah dari negara-negara maju. Dari setiap daerah di Indonesia yang pernah dikunjunginya, ia mengaku selalu menemukan bibit-bibit baru yang cemerlang. Tidak hanya terpusat di Pulau Jawa, tapi juga dari Sumatra hingga Papua. "Kalau ada anggapan bahwa Papua adalah contoh provinsi yang tertinggal dalam pendidikan, toh sudah ada dua remaja Papua yang punya prestasi internasional. Artinya apa? Ada sebuah sistem yang mematikan potensi mereka. Saat mereka dilatih di sini, mereka bisa juga jadi juara," sebutnya. Anggapan tersebut tentu tak lepas dari kondisi pengajar di sana. Beragam faktor mulai dari pendidikan dan kesejahteraan merupakan sedikit hal dalam pencetakan siswa berbakat. "Makanya saya mendukung sekali kalau ada provinsi yang akan menaikkan gaji guru hingga lima kali lipat," katanya sambil tertawa.PENGAJAR YANG BAIK akan menghasilkan murid yang baik. Sementara itu profesi guru di Indonesia masih dipandang sebelah mata. Berlindung di balik embel-embel "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" yang mengesankan sebuah profesi pengabdian tanpa perlu dihargai secara profesional.IA LANTAS MENCONTOHKAN Taiwan. Di sana, orang berlomba-lomba masuk sekolah guru. Selain penghargaan materi yang setara dengan gaji para insinyur teknik yang bekerja di industri, jam kerja guru juga lebih singkat. Secara kultur, orang tua di sana memiliki kebanggaan tersendiri saat anak atau mertuanya menjadi guru. Sistem kompetisi yang ketat menghasilkan pengajar-pengajar berkualitas. "Kalau saja di Indonesia bisa seperti itu kan bagus. Karena pada dasarnya, di mana saja seorang anak itu sama. Makannya sama, perlakuan lingkungan tak jauh berbeda. Mereka butuh guru-guru yang pintar, yang mampu memotivasi dan mengerti bakat mereka. Yang bisa mengajarkan hal-hal sulit dengan cara mudah sehingga dapat menarik minat siswa untuk mendalami," katanya bersemangat. Semakin banyak orang mau belajar, semakin banyak orang pintar di Indonesia. Sebuah citra Indonesia akan terbentuk dan dihargai di dunia internasional.Si Anak Miskin Pengharum Bangsa"DULU SAYA BISA BELAJAR ke Amerika karena pertolongan orang. Sekarang saya juga harus membuka jalan untuk orang lain. Saya harap mereka juga bisa seperti itu, membuka jalan untuk orang lain lagi."DI MASA KECILNYA, Yohanes Surya tidak pernah bermimpi bisa kuliah hingga meraih PhD dari sebuah universitas top di Amerika Serikat, College of William and Mary di Virginia, sebelas tahun silam. "Saya itu dari keluarga miskin. Bisa makan dan hidup saja sudah untung. Dulu, saya nyaris tidak bisa belajar di universitas karena tidak bisa bayar," sebut pria kelahiran 6 November 1943 itu. Beruntung, kakak-kakaknya menyanggupi membayar pendidikannya di Jurusan Fisika Universitas Indonesia (UI).TIDAK PERLU TERLALU LAMA, dengan kecerdasannya, Yohanes mampu meraih beasiswa. "Waktu itu saya dapat beasiswa Supersemar. Besarnya Rp300. Dulu, uang segitu aja berat banget buat saya," sebutnya sambil tertawa. Lulus dari UI pada 1986 sempat membuatnya terdiam dan merenung sejenak. "Saya terus berpikir dan merenung. Whats next. Saat itu saya berpikir, bagaimana memajukan Indonesia dari fisika," kata ayah dari tiga putri itu.BINTANGNYA DI BIDANG FISIKA mulai bersinar. Nasib mujur yang banyak disebut orang sebagai perpaduan antara persiapan dan kesempatan, juga berlaku untuk Yohanes. Seorang profesor Amerika berkunjung ke Indonesia saat kuliahnya di UI rampung. Tanpa prosedur bertele-tele, pria yang besar di Klender, Jakarta Timur dinyatakan berhak mendapatkan beasiswa untuk pendidikan S-2 di Amerika. "Saya betul-betul merasa mendapat berkah dan tertolong. Bayangkan, bisa kuliah di Amerika untuk anak dari keluarga miskin seperti saya," sebut putra ketujuh dari sembilan bersaudara itu.SELANJUTNYA, IA MENGAKU merasa harus berbuat sesuatu untuk siswa lain, seperti ia dulu dibukakan jalan. "Dulu saya bisa belajar ke Amerika karena pertolongan orang. Sekarang saya juga harus membuka jalan untuk orang lain. Saya harap, mereka juga bisa seperti itu, membuka jalan untuk orang yang lain lagi. Dengan begitu, akan semakin banyak siswa yang punya kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih baik," sebut pria yang hingga kini telah membukakan jalan bagi sekitar 30 sarjana cemerlang Indonesia untuk belajar ke Amerika.TINGGAL DAN BEKERJA di Virginia, Amerika Serikat tak lantas membuatnya lupa dengan niatnya semula. Memajukan Indonesia melalui fisika. Di akhir tahun masa studinya, ia memulai sepak terjangnya dalam mempersiapkan tim olimpiade fisika Indonesia. "Saat itu, saya melihat olimpiade sebagai salah satu jalan untuk mengharumkan nama bangsa. Pembentukan citra sebuah bangsa melalui intelektualitas itu penting. Hal itu bisa membuat kita dihargai dan diperhitungkan di dunia internasional, bukan cuma sekedar nasib TKI yang suram," sebut suami dari Christina yang ditemuinya 16 tahun silam di gereja.DARI SITULAH, KETERLIBATAN INDONESIA sebagai peserta olimpiade fisika di mulai tahun 1993. Bersama rekan-rekannya sesama mahasiswa Fisika tingkat doktoral di College of William & Mary (Virginia Amerika Serikat), ia mengundang lima pelajar terbaik SMA dari Indonesia ke Virginia untuk menjalani training selama 2 bulan penuh sebelum berlaga di Olimpiade Fisika Internasional ke-24 (International Physics Olimpiad) yang diadakan di kampus itu. Kurangnya sponsor memaksa beberapa siswa terpaksa membayar sendiri penerbangan mereka ke Amerika. Bersama rekannya, Agus Ananda, ia mengajari para siswa tersebut sekaligus menanggung makanan untuk menghemat biaya.PERSIAPAN SINGKAT yang penuh keprihatinan itu ternyata tak sia-sia. Indonesia meraih medali perunggu melalui Oki Gunawan yang kini tengah digodok di Princeton University untuk meraih gelar PhD-nya, sedangkan Jemmi Widjaya mendapatkan penghargaan khusus.HASIL ITU MEMANTAPKAN KEYAKINAN Yohanes untuk terus melanjutkan misi itu di dunia pendidikan fisika. Setahun berikutnya, tim Indonesia tidak mendapatkan apa-apa. Yohanes sadar, persiapan yang matang mutlak diperlukan untuk membentuk tim yang solid. Akhirnya, ia memilih kembali ke Indonesia. Padahal, saat itu penghargaan yang didapatkannya bisa dibilang cukup layak. Bahkan ia membuang green card yang diberikan untuknya.SELAIN KELAS SUPER yang kini menjadi fokus perhatiannya, ia juga telah mempersiapkan tim olimpiade untuk tahun depan. Di sela-sela kesibukannya, ia masih menangani riset-riset fisika. "Saya tidak terjun langsung, cuma mengarahkan para peneliti muda saja. Kalau tidak begitu, yang lain nanti tidak bakal kepegang," ucap fisikawan yang kini berkecimpung di bidang ekonofisika dan nanoteknologi itu.KESIBUKAN YANG PADAT, tak lantas membuatnya lupa membaca buku. Waktu tidurnya hanya tiga sampai empat jam per harinya, menyisakan waktu untuk membaca banyak buku. "Saat ini saya senang membaca sejarah, perang, 'kisah sam kok dan sun tzu.' Dari situ, saya banyak belajar strategi," sebutnyaHarapan Meraih NobelKONSENTRASI YOHANES SURYA kini tengah terfokus pada satu hal. Kelas super yang akan dimulai pertengahan Agustus mendatang diharapkan dapat membuka jalan bagi sesuatu yang lebih besar. Bukan cuma harapan meraih Nobel pada 2020, tapi lebih dari itu. Sebuah kebangkitan Indonesia melalui ilmu pengetahuan. "Yang kita coba tahun ini baru 30 orang. Tahun depan kita usahakan bisa jadi 10 kelas di seluruh Indonesia. Artinya, kita punya 300 orang yang sengaja dididik khusus tahun depan," sebut pria yang lekat dengan image Olimpiade Fisika di Indonesia itu.KELAS SUPER yang disebutnya itu akan mengakomodasi kebutuhan anak-anak berbakat. Seorang anak yang pada dasarnya mampu menerima banyak materi, akan terpuaskan di kelas tersebut. Sistem pendidikan yang berbeda dengan kelas biasa di sekolah menengah umum (SMU) pada umumnya itu diharapkan dapat mencetak siswa-siswa unggul yang mampu bersaing di dunia internasional. Saat mereka lulus kelak, akan terbuka jalan masuk ke universitas top di luar negeri dan memiliki kesempatan untuk dibimbing langsung oleh para peraih Nobel.KELAS TERSEBUT TERBUKA bagi 30 siswa yang tersaring dari 3.000 lulusan sekolah menengah pertama (SMP) negeri di Jakarta. Gratis, karena gaji pengajar bakal ditanggung pihak produsen otomotif BMW. Sedangkan kebutuhan operasional ditanggung sekolah yang "ketempatan" kelas super tersebut. Dari tahun pertama, kepada anak-anak itu sudah diajarkan dasar-dasar ilmu pasti yang biasanya diajarkan di tahun pertama kuliah. Pelajaran di tingkat dua dan tiga saat kuliah, akan diajarkan saat mereka duduk di kelas dua. Sementara itu saat mereka kelas tiga, fokus sudah terarah pada olimpiade.Ilmu sosial dan bahasa juga akan diajarkan.BERBEDA DENGAN KELAS BIASA, para pengajar akan mengarahkan pelajaran-pelajaran tersebut dengan kemajuan teknologi. "Kita ajarkan mereka sejarah. Tapi kita fokuskan bagaimana teknologi dapat mengubah suatu bangsa. Bagaimana pengetahuan berkembang dari masa ke masa. Kita mau mereka mengerti bagaimana ilmu pengetahuan berperan banyak dalam sejarah bangsa-bangsa yang besar. Begitu juga dengan ekonomi, misalnya. Bagaimana teknologi memengaruhi perekonomian sebuah negara. Jadi semuanya memang diarahkan ke science," terang fisikawan alumnus Universitas Indonesia 1986 itu.BAHASA INDONESIA JUGA DIAJARKAN di kelas satu. Tapi pelajaran itu sudah diarahkan agar mereka dapat menulis artikel, karangan ilmiah, bahkan cerita pendek dan novel. Demikian juga bahasa Inggris. Siswa kelas super itu akan mendalami percakapan bahasa Inggris di kelas satu. Saat mereka naik ke kelas dua, materi bahasa Inggris yang diajarkan sudah diarahkan untuk memahami bacaan dalam berbahasa Inggris dan mampu membuat sebuah karya ilmiah. Begitu juga dengan pelajaran komputer. Siswa diarahkan untuk mampu mencipta sebuah game. "Dengan begitu, logika matematikanya juga terasah," tambahnya.PELAJARAN ILMU PASTI seperti fisika, matematika, kimia, dan biologi akan diajarkan bergilir setiap minggu. "Dalam satu minggu, siswa akan diajari khusus fisika selama empat hari berturut-turut. Minggu depannya biologi, selanjutnya matematika dan kimia. Hari Jumat dan Sabtu, kita variasikan dengan mata pelajaran bahasa dan sosial," sebut peraih PhD dari Jurusan Fisika College of William and Mary, Virginia, AS (1994) dalam bidang fisika nuklir yang ditekuninya.TAK DAPAT DISANGKAL, kelas super itu terkesan mengerikan dengan jadwal padat dengan materi yang sulit. "Bakat saja tak cukup. Bagaimanapun harus kerja keras. Kalau dua hal itu dapat dilakukan, hasilnya tentu bisa optimal. Bagus kan, kalau begitu lulus mereka punya kemampuan luar biasa untuk diterima di universitas top di luar negeri. Jika sudah kuliah di sana, mereka bisa bersaing dan disenangi profesornya. Beasiswa terbuka lebar untuk pendidikan sampai jenjang doktor. Mereka bisa jadi profesor di universitas terkenal dan bisa mendapat grant. Kalau sudah begitu, mereka bisa menarik lebih banyak siswa Indonesia untuk belajar di sana dengan biaya yang ditanggung mereka," jelasnya.EFEK BERANTAI ITULAH yang membuatnya optimistis, target Nobel pada 2020 mendatang sebetulnya bukan hal yang mustahil. "Saya optimistis, meskipun misalnya target Nobel meleset, kita akan punya ratusan ilmuwan andal yang berkualitas setara peraih Nobel dan dapat membangun Indonesia. Kita butuh sumber daya manusia hebat," tegasnya dengan senyuman optimistis.(Tulisan ini disajikan - di tengah tantangan membentuk karakter manusia Indonesia yang tangguh dan kompeten - untuk mendukung semangat "Menuju Indonesia yang Lebih Baik" – BRN).

No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bahasa yang santun...