Wednesday, October 28, 2009

Tentang TALASEMIA

Dari artikel di koran PR
penting buat pasangan yang mau menikah...

TALASEMIA merupakan penyakit kelainan genetik yang paling banyak diderita orang di seluruh dunia. Sayang penyakit ini sering diketahui terlambat, meski sebenarnya bisa terdeteksi sejak bayi dalam kandungan. Karena bersifat genetis, untuk mencegahnya pun bisa sejak awal, sebelum terjadi pernikahan. Untuk itu, diperlukan pemeriksaan laboratorium bagi para pasangan yang akan menikah.Seperti kebanyakan orang tua penderita talasemia lainnya, Rahayu Wismo (Yayuk) tidak pernah mengetahui sebelumnya bahwa dirinya merupakan pembawa sifat gen talasemia. Bahkan saat bayinya lahir pun Yayuk menganggap anaknya normal. Sampai saat anak pertamanya Reza Rizki Rianto berumur empat bulan, dokter yang memeriksa kesehatannya mencurigai bahwa buah hati Yayuk itu menderita talasemia. " Setelah diperiksa hasil laboratorium ternyata anak saya menderita talasemia," ujar Yayuk tersebut kepada wartawan "PR" di Bandung, Rabu (21/10). Perjuangan berat pun harus dialami Yayuk dalam merawat anaknya berjuang bertahan hidup. Secara rutin dia membawa Reza untuk cek kadar hemoglobin setiap 1-1,5 bulan sekali. Bila kadarnya kurang, maka Reza yang kini sudah berusia 18 tahun harus selalu menjalani transfusi darah. Dia mengakui hatinya sering menjerit bila melihat perkembangan fisik anaknya yang kurang sempurna. Pasalnya penderita talasemia sangat rentan terhadap penyakit. "Dia sudah seperti belahan jiwa saya, bila dia sakit saya pun merasakan sakit. Kadang saya berdoa, kalau bisa menukar nyawa biar saya saja yang menderita talasemia," kata dia sambil terisak. Meskipun demikian, dia berupaya untuk memberikan motivasi bagi anaknya untuk terus bangkit dan berjuang. "Alhamdulillah Reza kini masuk seleksi SPMB di UPI melalui jalur reguler," ujar ibu dari dua anak ini. Bawaan Menurut dokter spesialis anak Susi Susanah Sp. A(K), talasemia adalah penyakit kelainan bawaan yang disebabkan karena kekurangan hemoglobin sehingga sel darah merah mudah hancur. Biasanya pada orang normal, sel darah merah hancur antara 100-120 hari. Tetapi pada penderita talasemia bisa langsung hancur antara 15 sampai 30 hari. Hal itu menyebabkan penderita menjadi pucat karena Hb (hemoglobin) turun sehingga harus dilakukan transfusi seumur hidupnya. Jumlah hemoglobin dalam darah tersebut yang membedakan apakah dia penderita talasemia berat atau ringan. Talasemia dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu mayor, intermediet, dan ringan. Pada talasemia mayor, penyakit sudah bisa diketahui pada umur enam bulan.. Sementara penderita ringan biasanya tidak begitu merasakan dampaknya dan hanya diketahui bila dilakukan screening. "Kita baru menyadari menderita talasemia bila sudah tergolong berat," ujarnya. Gejala talasemia berat bisa muncul sejak anak berumur enam bulan. Apabila dokter menemukan muka pasiennya pucat, biasanya akan diminta untuk melakukan tes laboratorium. Bila berdasarkan penelitian pasien menderita talasemia, dokter akan memantau terus jumlah hemoglobin dalam darah di antara kisaran 9,5 sampai 11 gr/desiliter. "Bila di bawah itu, harus ditransfusi darah," ujarnya. Namun permasalahan tidak hanya sampai disitu, penderita talasemia seringkali mengalami komplikasi kelebihan zat besi. Pasalnya sel darah merah yang hancur sebelum waktunya menyebabkan tubuh berusaha menyerap zat besi sebanyak-banyaknya dari usus untuk bahan baku membentuk sel baru. Padahal setiap sel darah merah yang hancur mengeluarkan zat besi. Hal itu menyebabkan terjadi penumpukan zat besi dalam tubuh. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya asupan darah yang diberikan dari donor ketika anak tersebut transfusi. Hal itu menyebabkan kelebihan zat besi pada penderita menumpuk di jantung, otak dan hati sehingga mengakibatkan kematian. "Kebanyakan penyebab kematian memang bukan karena penyakitnya langsung tetapi karena komplikasinya, " kata Susi menjelaskan. Kelainan talasemia sebagian besar disebabkan oleh faktor genetik dari kedua orang tua. Anak penderita talasemia mayor biasanya memiliki ayah dan ibu pembawa gen talasemia. Bila ayah dan ibunya masing-masing memiliki gen pembawa, kemungkinan anaknya 25 persen menderita talasemia, 50 persen memiliki gen pembawa, dan 25 persen normal. "Ayah dan ibu yang membawa gen tersebut hidup dengan sehat, namun mereka bisa meneruskan talasemia mayor pada anak-anak mereka apabila menikah dengan orang yang sama pembawa gen," ujarnya. Ada juga penyakit talasemia yang bukan disebabkan karena turunan melainkan mutasi genetik. Namun kondisi tersebut jumlahnya sangat sedikit. Susi mengatakan, talasemia merupakan penyakit kelainan genetik yang paling banyak di dunia. Prediksi World Health Organization (WHO), banyaknya orang yang merupakan pembawa gen talasemia bisa mencapai 5 x sampai 10 persen dari jumlah populasi. "Tetapi itu baru kisaran jumlah, tepatnya di suatu daerah terutama di Indonesia belum ada penelitian lebih lanjut," ujarnya. Mencegah, lebih baik Secara medis, Susi mengatakan, penyakit talasemia belum ada obatnya. Penanganan dengan cara transfusi dan pemberian obat untuk mengurangi zat besi dalam tubuh, hanya efektif untuk xya pencegahan merupakan jalan terbaik yang bisa dilakukan saat ini. Pencegahan tersebut dilakukan dengan melakukan tes darah terlebih dahulu bagi pasangan yang berniat untuk menikah. "Apabila kedua pasangan tersebut ternyata merupakan pembawa gen talasemia sebaiknya tidak menikah apabila khawatir anaknya nanti akan menurunkan penyakit tersebut.. Apalagi pada orang yang menderita talasemia sebaiknya menikah dengan orang yang benar-benar normal," tutur Susi. Aborsi Bila berdasarkan hasil laboratorium pasangan calon suami istri tersebut diketahui menderita talasemia, pihak rumah sakit akan memberikan konseling pada mereka mengenai risikonya bila kemudian menikah. Namun bila pasangan tersebut tetap ingin menikah dan kemudian istrinya hamil, secara medis bisa dilakukan pemantauan saat bayi berumur 10 sampai dua belas minggu di dalam kandungan. "Caranya dengan memeriksa air ketuban, di situ akan ketahuan apakah anak tersebut menderita talasemia atau tidak," ujarnya. Pada beberapa negara lain di dunia, menurut Susi, orang tua bisa diberikan pilihan untuk melakukan aborsi bila berdasarkan hasil laboratorium anaknya diprediksikan menderita talasemia. Misalnya saja di Italia, cara itu bisa menurunkan jumlah pembawa genetik talasemia dari 90 persen menjadi lima persen dalam kurun waktu 25 tahun. Namun, Susi mengungkapkan, cara tersebut masih belum dipastikan legalitasnya di Indonesia. "Hal itu tergantung juga dari kebijakan pemerintah, namun sayangnya saat ini pemerintah masih terfokus pada penyakit yang diakibatkan karena infeksi," ujarnya. Sementara itu, Kiai Muchtar Adam mengatakan, dalam Islam memang ada dalil yang memperbolehkan hal yang terlarang apabila berada dalam keadaan darurat. Namun dalam kasus ini, perlu dikaji lebih lanjut lagi sampai sejauh mana kondisi darurat yang terjadi. "Bagaimana bila pemeriksaan yang dilakukan saat bayi dalam kandungan tersebut ternyata tidak benar? Kan perlu dipertanyakan juga keakuaratannya, " ujarnya. Saat ini, belum ada fatwa yang menjelaskan hal ini.. Apalagi dalam Islam anak itu merupakan sesuatu yang fitrah. "Nyawa manusia adalah hal paling diutamakan dalam Islam. Untuk itulah Islam melarang secara keras manusia yang menghilangkan nyawa orang lain maupun diri sendiri," katanya. Pencegahan dengan pemeriksaan darah sebelum menikah diindikasikan sebagai cara terbaik yang bisa dilakukan saat ini. Untuk itulah, Rottary Club berupaya untuk melakukan kampanye pengenalan penyakit talasemia kepada masyarakat luas. Menurut Koordinator Pencegahan Talasemia Area bandung IPP Prima Dewi F., Rottary Club bekerja sama dengan Yayasan Talassaemia Indonesia dan Ikatan Dokter Anak Indonesia akan mengampanyekan mengenai apa dan bagaimana talasemia itu kepada kalangan mahasiswa di Universitas Padjadjaran (Unpad) Jln. Dipati Ukur, Kota Bandung, Selasa (27/10).

No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bahasa yang santun...